Miyamoto Musashi vs Sasaki Kojiro ; SEBUAH PEMBELAJARAN SENI KEPERKASAAN
(oleh: Hezron Tandungan)
Air laut di pantai pulau Ganryujima adalah salah satu saksi bisu yang menceritakan bahwa pada jaman Edo, sekitar April 1612 telah terjadi sebuah duel sengit antara dua jagoan pedang yang salah satunya belajar melalui institusi semata yakni Sasaki Kojiro, dan ahli pedang lainnya yang belajar langsung dari alam yakni Miyamoto Musashi yang bergelar Shinmen Musashi No Kami Fujiwara No Genshin.
Setelah mencoba membaca lagi kisah diatas, mulai dari buku/novel berjudul “Miyamoto Musashi” karya Eiji Yoshikawa maupun The Lone Samurai : The Life of Miyamoto Musashi karya William Scott Wilson, dan lain-lain maka ternyata kisah pertarungan tersebut banyak memberikan pelajaran berharga yang saya mencoba ringkas sebagai berikut:
1).KUASAI PIKIRAN DAN PERASAANMU
Miyamoto Musashi tidak pernah membiarkan dirinya dikekang oleh emosi dan teknik-tekniknya, ia bahkan datang menemui Sasaki Kojiro seperti orang hendak pergi tamasya yakni dengan menaiki sebuah perahu. Ia tak memperlihatkan raut muka kecemasan ataupun ketegangan sedikitpun dalam duel yang keputusan terakhirnya berada diantara hidup dan mati.
Saya teringat satu kisah dalam sejarah “47 Ronin”. Memang ada orang-orang yang mati dengan tetap hidup seperti saya sebut saja Kira Kozuke, tetapi ada juga yang memperoleh hidup dengan mati sebagaimana seppuku yang dilakukan sejumlah samurai pada akhir kisah tersebut, saya sebut saja ada Oishi Kuranosuke, Chikara Yoshikane, Kataoka, dan kawan-kawannya.
Musashi telah mampu menguasai perasaannya sebab itu ia tidak ingin larut dalam nuansa ketegangan itu sendiri. Pikirannya betul-betul ia kosongkan dalam menghadapi pertempuran/permasalahan tersebut. Ia banyak belajar dari Takuan akan hal ini, termasuk tentang prinsip fudochishinmyoroku dimana nilai budo seseorang adalah bertujuan melenyapkan pikiran yang telah tercemar untuk kembali kepada keadaan alamiah yang murni, bebas dari kesangsian, kecurigaan, rasa marah, keraguan atau bahkan rasa takut.
2).HINDARI PERTARUNGAN (Yang Tidak Perlu)
Saat Sasaki Kojiro menantang Miyamoto Musashi untuk melakukan duel, Musashi sebenarnya telah mencoba menghindari tantangan itu berulang kali. Ia bahkan sebelumnya mengajak Sasaki Kojiro agar Ilmu Pedang mereka lebih baik diajarkan dan diwariskan ke penerus mereka berdasarkan ryu dan “jalan” masing-masing.
Sebagai penganut paham bahwa tujuan akhir suatu seni keperkasaan memang adalah menaklukkan musuh tanpa adanya perkelahian/pertarungan maka saya pun dengan lapang hati mengatakan bahwa memang kedamaian adalah tujuan tertinggi dari para penganut seni keperkasaan.
3) HORMATI LAWANMU
Kecintaan Musashi kepada lawannya dan kecintaannya akan arti sebuah kehidupan terlihat ketika ia menghampiri Sasaki Kojiro hanya dengan menggunakan pedang kayu bokken. Niat awalnya hanya ingin agar Sasaki Kojiro tahu bahwa pada dasarnya ia tak pernah menginginkan pertarungan itu dan meskipun dipaksakan, niatnya hanya ingin memberikan pelajaran berharga kepada Sasaki Kojiro (dan ia haruslah memenangkan pertarungan yang tidak diinginkannya tersebut). Dalam kisahtersebut juga bagaimana disaksikan bahwa baik sebelum maupun sesudah pertarungan itu Musashi tetap menghargai sosok Sasaki Kojiro sebagai seorang pendekar pedang terhormat.
4) KENALI MUSUHMU
Musashi telah mempelajari sosok Sasaki Kojiro sebelumnya dan salah satu kelemahan Sasaki Kojiro menurutnya adalah emosinya yang labil. Dan dengan ini pula Miyamoto Musashi sengaja membuat Sasaki Kojiro gelisah sesaat menunggu kehadiran dirinya. Miyamoto Musashi tahu bahwa ketika kedatangannya yang “terlambat” itu membuat gusar Sasaki Kojiro maka sebenarnya ia telah memenangkan satu poin pertarungan.
5) KENALI ALAM SEKITARMU
Miyamoto Musashi melompat tinggi sambil membelakangi pancaran sinar matahari yang mengakibatkan pandangan mata Sasaki Kojiro tak mampu melihat secara sempurna pergerakan-pergerakan Musashi. Musashi faham betul dari sudut mana ia harus melancarkan tekniknya dengan efektif dengan tetap berpegang pada prinsip me no kubari.
Seorang karateka misalnya pada saat melakukan pertarungannya tetap memperhitungkan keadaan sekitar, mengamati benda-benda yang ada, termasuk memperhitungkan ma-ai, dengan tanpa mengindahkan prinsip munen musho dimana ia membebaskan diri dari pikiran apapun pada saat akan bertarung untuk kemudian melancarkan teknik yang kemudian menjadi “ikken hissatsu”nya.
6) HARGAI IDENTITAS RYU YANG MELEKAT PADAMU
Pada saat Sasaki Kojiro menghunus pedangnya, ia bahkan kemudian membuang begitu saja sarung pedangnya, yang pada saat itu sangat pantang dilakukan oleh seorang samurai sejati. Melihat kejadian itu Musashi kembali tahu bahwa ia kemudian kembali telah memenangkan satu poin lainnya dalam sebuah pertarungan yang belum terjadi.
Sun Tzu dalam buku The Art of War setahu saya setidaknya pernah pula mengatakan “pedang yang jatuh ke air garam pada akhirnya akan berkarat”. Seorang penganut ryu dari satu seni keperkasaan sudah sewajarnya untuk menjaga “kemurnian” dari segala hal yang melekat pada ryu yang digelutinya termasuk menghargai dogi/kekogi/hakama, obi, dojo, panji-panji hingga pada janji dan sumpahnya.
Berkaitan dengan itu, saya juga sering menulis akan arti sebuah penghargaan terhadap ryu yang saya geluti bahwa, “ketika saya mengenakan seragam karate yang di dadanya terpampang dengan jelas lambang perguruan saya GOJUKAI, maka saya tidak akan berpikir atau mencoba berpikir sekalipun untuk memainkan KATA diluar yang diberikan GOJURYU kepada saya. Saya mencintai ‘KEPALAN TANGAN’ itu dan berusaha untuk selalu menjaganya dalam ucapan maupun tindakan-tindakan nyata.”
Dalam sebuah puisi GOGEN YAMAGUCHI menekankan pula hal demikian bahwa “Anda harus menjaga identitas Anda dan tidak menjadi arogan dan percaya diri yang berlebihan. Hal ini teramat penting untuk menjaga dan menunjukkan penghormatan yang menyangkut Ryu Anda. Sebaliknya jika Anda tidak bersikap seperti itu, maka meskipun Anda adalah seorang terbesar di perkaratean, Anda akan mengikuti jalan ekstrim, hasrat Anda untuk memahami karate tak kan pernah tercapai.”
7) BERSIKAP DAN BERJIWA KSATRIA
Sosok ksatria Musashi bukan hanya ditujukan kepada lawan-lawannya. Sikap dan jiwa ksatrianya pula ia gunakan dalam menghadapi wanita yang dikasihinya, Otsu, atau bagaimana sikapnya dan kata-katanya dalam menghadapi gurunya, Takuan. Keperkasaannya tidak membuatnya tinggi hati dan bahkan ia banyak belajar dari musuh-musuhnya, sebut saja Arima Kihei (samurai dari perguruan Shinto Kendo Ryu), Tadashima Akiyama (seorang pendekar pedang), Yoshioka Seijiro (seorang kepala samurai clan Yoshioka), Shishido Baikin (seorang ahli senjata yang menggunakan rantai).
Dalam kisah sang pendiri Goju Ryu, Chojun Miyagi sensei misalnya banyak kita dengar suatu peristiwa pada masa ia meninggalkan Jepang dan bermukim di Ishikawa. Disana ia banyak menunjukkan bagaimana sikap dan kerendahan hatinya tanpa ada satu orangpun tahu bahwa ia adalah seorang pendekar besar.
Kita seharusnya lebih banyak belajar segala sesuatunya dari beragam sudut pandang yang bisa dimanfaatkan dan menganggap semuanya itu sebagai satu sumber pembelajaran.
---------
“Ketakutanku adalah ketika keberanianku beranjak dari tempat dimana seharusnya ia ada dan menetap.”
Demikian, semoga bermanfaat.